Sebagai tumbuhan yang berkhasiat, lidah buaya bisa diolah menjadi dodol. Selain tetap mempertahankan nutrisinya, dodol lidah buaya semakin diminati konsumen, bahkan mampu menembus pasar Malaysia. Mulai ramai di pasar tahun 2000 lalu, kini permintaan dodol lidah buaya menurun. Namun, salah satu produsen bisa mencetak laba bersih Rp 10 juta per bulan.
Tanaman lidah buaya atau aloevera, selama ini mungkin lebih dikenal masyarakat sebagai bahan baku kecantikan wajah dan perawatan rambut. Namun Yuliana, seorang pengusaha makanan rumahan di Jalan Imam Bonjol, Gang Tanjung Sari, Kota Pontianak, Kalimantan Barat, mampu mengolahnya menjadi berbagai jenis makanan, seperti dodol dan keripik.
"Awalnya sih pada 2004 lalu, hanya membuat snack lidah buaya saja, tapi ternyata diminati pembeli", kata Yuliana. Ketika makanan snacknya sudah memiliki pelanggan, Yuliana mencoba membuat jenis makanan lainnya seperti keripik dan dodol dari bahan yang sama, dan laris manis di pasaran, sehingga dia pun akhirnya memfokuskan membuat makanan dari bahan baku lidah buaya. Selain makanan, Yuliana sekarang juga mulai mengembangkan minuman dari lidah buaya.
Menurut Yuliana, yang paling diminati konsumen adalah dodol lidah buaya. Dodol ini diyakini sangat baik untuk kesehatan, karena 80 persen dari bahan baku dodol tersebut, adalah tanaman lidah buaya.
Meski kini telah memiliki lebih dari 10 orang karyawan, Yuliana mengaku, awalnya dia sering menemukan kesulitan dalam menjalankan usahanya ini. Tanpa putus asa Yuliana terus mencoba, sehingga akhirnya pada 2006, ia mulai merasakan hasilnya. Yuliana bertekad akan terus mengembangkan usahanya ini, dengan mencoba memasarkannya ke berbagai provinsi di Indonesia.
Kreativitas produsen makanan sangat diperlukan untuk mempertahankan usaha. Produsen mengolah berbagai bahan baku menjadi produk turunan yang enak dinikmati, sekaligus memiliki nilai jual yang tinggi. Lidah buaya menjadi salah satu bahan baku yang selama ini sudah diolah menjadi berbagai produk makanan dan minuman. Salah satu makanan berbahan lidah buaya adalah dodol.
Deni Triadi, pemilik CV Margahayu di Pontianak, Kalimantan Barat, mengolah dodol dan jeli dari lidah buaya dan menjadikannya produk oleh-oleh khas Kalimantan.
Deni membutuhkan pasokan 300 kilogram (kg) hingga 500 kg lidah buaya per pekan dari para petani untuk menghasilkan sekitar 300 kg dodol lidah buaya. Deni memperoleh omzet Rp 13 juta per bulan dengan menjual dodol di harga Rp 45.000 per kg.
Memulai usaha sejak tahun 2000, kini ia sudah memiliki pelanggan di pulau Jawa dan Malaysia. "Untuk Sumatra, kami masih kesulitan memasarkan karena karakter dodol yang manis tidak begitu disukai di sana," ujar Deni. Ia juga merasakan bahwa permintaan dodol lidah buaya mengalami fluktuasi.
Pada awal 2000 lampau permintaan dodol lidah buaya sempat menurun. Namun, memasuki akhir tahun 2000 permintaan kembali meningkat meski tidak begitu signifikan. Kendala penjualan dodol terletak pada penyebaran informasi atau promosi yang belum merata dan distribusi yang kurang luas.
Pembuatan dodol bermutu tinggi memerlukan proses yang lama dan membutuhkan keahlian. Deni mengatakan, bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat dodol terdiri dari santan kelapa, tepung beras, gula pasir, gula merah, dan garam. Bahan-bahan itu dicampur dan dimasak dengan api sedang. Jika dibiarkan begitu saja, dodol akan hangus di bagian bawah dan membentuk kerak.
Makanya adonan dodol harus diaduk terus menerus. Waktu pemasakan dodol kurang lebih empat jam. Jika kurang dari itu, dodol yang dimasak akan kurang enak rasanya. Setelah dua jam, campuran dodol tersebut akan berubah warnanya menjadi coklat pekat.
Pada saat itu juga adonan dodol tersebut akan mendidih dan mengeluarkan gelembung-gelembung udara. "Tiriskan untuk memastikan lidah buaya tak berlendir," kata Deni. Olahan itu lalu dicampur dengan berbagai bahan seperti susu, gula, dan ketan putih di dalam kuali. Campuran ini diaduk untuk mendapatkan rasa dodol yang manis dan legit.
Pemain lainnya adalah Felice di Pontianak. Felice mengatakan masyarakat Pontianak banyak melakukan usaha budidaya lidah buaya dan mengolahnya menjadi dodol. Inilah kemudian yang mendorong Felice 10 tahun lalu mengembangkan usaha tanaman aloe vera menjadi dodol. "Dulu permintaan dodol dari lidah buaya memang tinggi. Setiap harinya saya bisa memproduksi 10 ton dodol," kenang Felice.
Untuk memenuhi pasokan bahan baku lidah buaya, Felice membeli lidah buaya dari petani-petani lain selain memasoknya dari kebun sendiri.
Namun, sekarang usaha dodolnya mengalami penurunan. Kini, Felice memproduksi tiga ton dodol per hari. Penurunan produksi dodol, menurut Felice disebabkan karena faktor banyaknya pesaing. Felice juga melihat kendala distribusi ke beberapa pelosok Indonesia.
Meski begitu dia mengaku masih mampu mengantongi laba bersih sebesar Rp 10 juta per bulan. Felice menjual dodol lidah buaya seharga Rp 5.000 untuk 10 biji dodol dengan berat 250 gram. Felice memproduksi dodol lidah buaya ini secara rumahan dengan mengandalkan 20 orang pegawainya.
"Awalnya sih pada 2004 lalu, hanya membuat snack lidah buaya saja, tapi ternyata diminati pembeli", kata Yuliana. Ketika makanan snacknya sudah memiliki pelanggan, Yuliana mencoba membuat jenis makanan lainnya seperti keripik dan dodol dari bahan yang sama, dan laris manis di pasaran, sehingga dia pun akhirnya memfokuskan membuat makanan dari bahan baku lidah buaya. Selain makanan, Yuliana sekarang juga mulai mengembangkan minuman dari lidah buaya.
Menurut Yuliana, yang paling diminati konsumen adalah dodol lidah buaya. Dodol ini diyakini sangat baik untuk kesehatan, karena 80 persen dari bahan baku dodol tersebut, adalah tanaman lidah buaya.
Meski kini telah memiliki lebih dari 10 orang karyawan, Yuliana mengaku, awalnya dia sering menemukan kesulitan dalam menjalankan usahanya ini. Tanpa putus asa Yuliana terus mencoba, sehingga akhirnya pada 2006, ia mulai merasakan hasilnya. Yuliana bertekad akan terus mengembangkan usahanya ini, dengan mencoba memasarkannya ke berbagai provinsi di Indonesia.
Kreativitas produsen makanan sangat diperlukan untuk mempertahankan usaha. Produsen mengolah berbagai bahan baku menjadi produk turunan yang enak dinikmati, sekaligus memiliki nilai jual yang tinggi. Lidah buaya menjadi salah satu bahan baku yang selama ini sudah diolah menjadi berbagai produk makanan dan minuman. Salah satu makanan berbahan lidah buaya adalah dodol.
Deni Triadi, pemilik CV Margahayu di Pontianak, Kalimantan Barat, mengolah dodol dan jeli dari lidah buaya dan menjadikannya produk oleh-oleh khas Kalimantan.
Deni membutuhkan pasokan 300 kilogram (kg) hingga 500 kg lidah buaya per pekan dari para petani untuk menghasilkan sekitar 300 kg dodol lidah buaya. Deni memperoleh omzet Rp 13 juta per bulan dengan menjual dodol di harga Rp 45.000 per kg.
Memulai usaha sejak tahun 2000, kini ia sudah memiliki pelanggan di pulau Jawa dan Malaysia. "Untuk Sumatra, kami masih kesulitan memasarkan karena karakter dodol yang manis tidak begitu disukai di sana," ujar Deni. Ia juga merasakan bahwa permintaan dodol lidah buaya mengalami fluktuasi.
Pada awal 2000 lampau permintaan dodol lidah buaya sempat menurun. Namun, memasuki akhir tahun 2000 permintaan kembali meningkat meski tidak begitu signifikan. Kendala penjualan dodol terletak pada penyebaran informasi atau promosi yang belum merata dan distribusi yang kurang luas.
Pembuatan dodol bermutu tinggi memerlukan proses yang lama dan membutuhkan keahlian. Deni mengatakan, bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat dodol terdiri dari santan kelapa, tepung beras, gula pasir, gula merah, dan garam. Bahan-bahan itu dicampur dan dimasak dengan api sedang. Jika dibiarkan begitu saja, dodol akan hangus di bagian bawah dan membentuk kerak.
Makanya adonan dodol harus diaduk terus menerus. Waktu pemasakan dodol kurang lebih empat jam. Jika kurang dari itu, dodol yang dimasak akan kurang enak rasanya. Setelah dua jam, campuran dodol tersebut akan berubah warnanya menjadi coklat pekat.
Pada saat itu juga adonan dodol tersebut akan mendidih dan mengeluarkan gelembung-gelembung udara. "Tiriskan untuk memastikan lidah buaya tak berlendir," kata Deni. Olahan itu lalu dicampur dengan berbagai bahan seperti susu, gula, dan ketan putih di dalam kuali. Campuran ini diaduk untuk mendapatkan rasa dodol yang manis dan legit.
Pemain lainnya adalah Felice di Pontianak. Felice mengatakan masyarakat Pontianak banyak melakukan usaha budidaya lidah buaya dan mengolahnya menjadi dodol. Inilah kemudian yang mendorong Felice 10 tahun lalu mengembangkan usaha tanaman aloe vera menjadi dodol. "Dulu permintaan dodol dari lidah buaya memang tinggi. Setiap harinya saya bisa memproduksi 10 ton dodol," kenang Felice.
Untuk memenuhi pasokan bahan baku lidah buaya, Felice membeli lidah buaya dari petani-petani lain selain memasoknya dari kebun sendiri.
Namun, sekarang usaha dodolnya mengalami penurunan. Kini, Felice memproduksi tiga ton dodol per hari. Penurunan produksi dodol, menurut Felice disebabkan karena faktor banyaknya pesaing. Felice juga melihat kendala distribusi ke beberapa pelosok Indonesia.
Meski begitu dia mengaku masih mampu mengantongi laba bersih sebesar Rp 10 juta per bulan. Felice menjual dodol lidah buaya seharga Rp 5.000 untuk 10 biji dodol dengan berat 250 gram. Felice memproduksi dodol lidah buaya ini secara rumahan dengan mengandalkan 20 orang pegawainya.
0 comments:
Post a Comment